Seekor Anak monyet menyatakan tekadnya dengan tegas di hadapan altar Dewa Penguasa.
“Aku ingin jadi manusia, wahai Dewa!”
Tiap hari selalu saja berulang-ulang lima kali sehari ia datang ke altar tersebut dan berulang-ulang pula diucapkannya tekad itu.
“Aku ingin jadi manusia, wahai Dewa!”
Hal ini ia rahasiakan dari seluruh pengisi hutan. Ia tidak ingin sesiapa pun tahu bahwa ada penghuni hutan yang mengutarakan keinginan tabu ini.
Hingga pada suatu hari tingkahnya ini diketahui oleh sang ayah. Berulang kali pula ayahnya memarahi, memaki, bahkan sampai memukuli si Anak monyet yang memiliki tekad tabu itu. Bukankah manusia selalu saja menciptakan kerusakan kepada hutan dan tidak menghargai alam mereka? Namun si Anak monyet tetap tegar dengan tekadnya.
“Aku ingin jadi manusia, agar tidak hanya dapat pasrah di sini menunggu hutan kita dibakar oleh mereka, wahai Ayah.”
Plakk..!! Sebuah tamparan kecut menjadi hadiah dari kelancangannya mengeluarkan jawaban. Bahkan kali ini ayahnya meminta ia n’tuk pergi keluar dari hutan dan diasingkan jika tak dapat melupakan dan membenamkan mimpinya ke dasar terdalam hatinya. Maka si Anak lebih memilih terusir dan hidup dalam pengasingan.
Untuk kali terakhir, ia pergi menuju ke Altar Dewa sebelum akhirnya pergi meninggalkan hutannya. Namun kali ini ia datang dengan jutaan air mata.
“Aku ingin jadi manusia, wahai Dewa!”
Berulang-ulang sampai sembilan puluh sembilan kali, namun tiada apapun yang terjadi. Dan belum rampung kalimat itu diucapkannya untuk ke seratus kalinya, tiba-tiba terdengar suara gaib entah darimana datangnya.
“Akulah Dewa Penguasa. Mendengar tekadmu yang luar biasa. Apakah engkau sungguh-sungguh wahai Anak monyet?”
Kesedihan si Anak monyet mendadak sirna. Berganti dengan keterkejutan dan pengharapan bahagia tiada tara.
“Ya wahai Dewa. Aku benar-benar bersungguh-sungguh dengan tekadku itu” Jawabnya…
Tiada respon setelah itu. Hanya sepi berbatas hening. Hanya diam berbatas senja suram. Hanya itu yang terjadi dan si Anak monyet kembali merasa sedih. Mungkin hanya khayalan yang tiba dikarenakan tekad yang terlalu besar dalam otaknya. Mungkin Ayah benar, tak akan mungkin tekadnya terwujud bahkan meski maut menjemput.
Si Anak monyet yang terlanjur terusir tak sanggup untuk kembali pulang. Dia bangkit dan pergi menuju keluar dari dalam hutan tanpa tujuan. Berjam-jam dilalui ditemani sepi dalam kalbunya yang terancam mati. Sampai akhirnya dia merasa haus dan mendapati sebuah danau. Dia pun berhenti untuk menghilangkan dahaga tubuhnya yang galau.
Ahh.. tubuhnya terasa lebih segar.
“wew..!!” jeritnya terkejut. Melompat menjauh dari tepi danau dengan wajah yang terlihat parau. Diperhatikannya secara seksama kanan, kiri, dan belakang.
“Siapa di sana?” Ucapnya setengah berteriak. Namun tiada sahutan menjawab. Dipâstikannya sekali lagi, namun tiada jawaban menyahut-sambut.
Si Anak monyet menghela nafas panjang.
Dia pun kembali ke tepi danau, untuk dapat menikmati segarnya air yang memantulkan senja yang berkilau.
“wew..!!” kembali ia terkejut. Lalu kembali melompat menjauhi tepi danau. Diperhatikannya lebih seksama kanan, kiri, dan belakang. Namun sama seperti sebelumnya, tiada sesiapapun berada di sana. Hanya dirinya bersama angin yang semilir bertiup getir. Juga beberapa pohon yang bergoyang pelan diam dengan daun bersisir-sisir. Kesimpulan yang hinggap ke dalam otaknya menawarkan sesuatu yang indah cerah.
Dia kembali ke tepi danau. Kali ini bukan untuk menikmati airnya yang segar, namun untuk membuktikan tawaran konklusi yang hinggap mekar.
Ditatapinya banyangan dari permukaan air tenang. Hening masih disertai angin semilir. Digerakkannya tangan menyentuh seluruh bagian dari wajah. Pipi, bibir, hidung, mata, kening, dan kepala. Hujan deras tiba-tiba datang seiring tangisannya yang meledak-ledak. Ditatapinya langit dengan merah senja tersenyum manja. Lalu dia tersenyum menyapa kegelapan yang sebentar lagi akan datang.
“Terima kasih Dewa… Kau wujudkan tekadku menjadi manusiaaa..!!!” teriaknya panjang masih dengan air mata dan hujan yang deras menghujam tanah.
Tubuh manusianya yang kini telanjang dan tersiram hujan, menanti lembar baru yang mungkin penuh pilu… hhh… Entahlah.
*** bersambung
nice story..
ide yang unik! wew.. ^^
mari, mari, dilanjutkan, bang.
ditunggu yak..
cerita ini sepertinya tragedi..detail penceritaannya udah okey, hanya apa ya..aada sesuatu yang bisa di up lagi...hahah
Aku baca ya ceritamu ... :)
Ayo Lajutin...
eh... si Monyet jantan pa betina, trus ekornya kemana ya ??
kayak Goku...
Smangat...banyak yg menunggu!!
Setelah hati ini mulai tenang mendapatkan kisah yang seolah nyata terjadi dalam sekelumit kehidupanku... Maka kisah ini akan aku lanjutkan. Tidak dengan harapan untuk dinikmati selayaknya karya-karya lain yang diciptakan dengan penuh kebahagiaan, kisah ini kutuliskan dengan rasa pilu yang sembilu.
ouch!!! (abis nyubit tanganku sendiri). aku menunda2 menulis cerita yg ide ceritanya sgt mirip dgn yg satu ini (paling tidak sampai pd bab ini) dari bulan y.l. kok bisa ya? wah, mesti ganti ide nih.
it's nice though. good luck, super x!
lanjut
Plakk..!! Sebuah tamparan kecut menjadi hadiah.....
Bung, Plakk..!!mah judul tulisan gue....dapet royalti ga gue ya?hehehe
tulisan lo khas banget
ceritanya bisa panjang neh, legenda?
.... bang amri meletakan titik sebelum tanda tanya/seru? (c/: wahai Dewa.!, wahai Anak monyet.?, Siapa di sana.?)
tapi ceritanya bagus, aku tunggu lanjutannya :)
Ternyata cerita lo ma teori darwin hampir mirip ^_^...(lanjut brooooo!!!!)
Si Anak monyet menghela nafas panjang. Hhhhhh…
yang mungkin penuh pilu… hhh…
---> hhhhh-nya sebenernya kalo ga dipake juga ga ngaruh, ya? :)
aku bakal nyimak ngikutin terus.
lanjutt bangg!
akum asih bingung,kemana ya arah ceritanya, mungkin ada bagian kedua yang melanjutkan perjalanan baru sianak manusia