Seperti pagi ini, aku masih terbangun dalam balutan mimpi buruk yang sesungguhnya kenyataan. Tepatnya aku bermimpi beberapa minggu yang lalu. Tapi, waktu berjalan cepat seperti laju mesin berisik di depan apartemen tempat aku tinggal. Datang melolong dari jauh, melintas lalu hilang bersama dengung.
Aku mendapati tubuhku meringkuk di ruang sempit. Itu kamar tidurku yang hangat. Namun, tubuh itu ada di sudut dengan selimut kusam. Aku ingat kalau malam sebelumnya sama kejamnya dengan malam-malam yang akan datang. Menyakitkan.
“Kau minum soda, ya?” suara itu sering bernyanyi. Melantunkan lagu cinta tanpa pendengar. Masih saja percaya walau angin sudah lupa menyampaikan pesan dalam nada. Aku meliriknya. Pria dengan tubuh tinggi dan kurus itu mencari-cari sesuatu di laci meja.
“Aku bermimpi berkeliling di Venezia dengan perahu tua. Kau?” tanyanya lagi.
“Tak begitu buruk,” jawabku singkat. Aku bangkit dan duduk manis.
“Kalau kau bilang seperti itu, berarti buruk. Ayolah! Aku bisa mendengar kau mengigau tadi malam. Dia lagi?” tebaknya walau kurasa itu tak perlu dilakukan olehnya.
“Kau cukup untuk sekedar tahu, Ian. Tak lebih.”
“Hahaha. Seolah-olah aku tak mengerti, ya? Hei, sudah 20 tahun kita bersama. Selama itu pula aku dengar semua celotehanmu. Jangan bilang kali ini bukan urusanku.”
Aku meliriknya dalam-dalam. Ian adalah sosok yang kadang kurang ajar. Aku menjaga semua barang pribadiku darinya. Apalagi itu!
Kugeser selimut dari tubuhku dan kusandarkan punggungku ke dinding. Kutarik nafas dalam-dalam lalu memandang foto di atas meja. Senyum itu. Sementara Ian mengeluarkan rokok dari saku kemejanya.
“Jangan kau sentuh foto itu!” kataku.
“Hahaha. Baiklah. Aku sudah menemukan apa yang kucari. Rokok?” tawarnya.
“Aku sudah niat berhenti,” kataku ketus. Percuma memberitahukan Ian. Ia tetap tak ingat.
“Baiklah. Kau tahu aku butuh nikotin untuk membuatku nyaman. Sepertimu dulu. Cuma sekarang beda. Kau memilih gitar dan bermain kata setiap malam.” Ian menghembuskan asap rokoknya ke langit-langit. Aku hanya menatap kepulan asap putih itu menyatu dengan udara dalam kamar dan akhirnya terhirup juga olehku. Ini pernah kurasakan. Dulu.
“Apa sudah final?” tanyanya setelah aku memilih diam.
“Ya.”
“Dia?”
“Bukan dia. Tapi aku yang memutuskan semuanya,” aku terdiam lagi. Ian beranjak duduk di sebelahku. Kami seperti saudara kembar jadinya.
“Setidaknya kau bisa tegas. Kuperhatikan akhir-akhir ini, kau sering melamun di mejamu. Apa karena itu?” tanyanya lagi. Aku tersenyum hambar.
“Aku berada di tempat lain. Kau sendiri tak kelihatan seharian? Sibuk?”
“Hahaha. Kau kan tahu aku ini siapa. Ya, aku jalan-jalan. Berkeliling kota. Mungkin aku bisa menemukan teman kencan buat besok malam,” katanya dengan senyum. Lalu ia menghisap rokoknya lagi. Nikmat sekali kelihatannya.
“Kau memang tak berubah. Sejak dulu selalu begitu. Apa tak merasa kasihan? Teman wanitamu sudah berjubel. Selalu berganti tiap minggu. Apa rahasianya?” tanyaku meringankan suasana. Ia memandangku lekat-lekat.
“Ini benar-benar di luar keahlianmu. Tulislah puisi! Ciptakan lirik lagu dengan nada merdu tiap hari! Dan merenung seperti napi selamanya! Sementara saat itu, aku pasti sedang berdansa dengan Kim, Terry, Rei dan perempuan lain yang tak kuingat namanya. Hidup masih panjang, Sobat. Nikmatilah!”
Aku tak suka dibandingkan dengan dirinya. Seolah-olah dia lebih baik daripada aku. Sesungguhnya Ian punya rayuan maut yang super gombal dan mampu menaklukkan hati wanita. Tapi, ia mengkoleksi buku-bukuku. Ia membaca tulisan-tulisanku tentang cinta dan wanita. Ia juga selalu membawa walkman dan lagu-laguku dalam sekeping disk.
“Aku pulang larut malam. Saat itu aku melihatmu tergeletak di sudut. Tampaknya kau baru menangis sesaat sebelum terlelap. Sepedih itu?”
Ian tinggal sekamar denganku dan kami masing-masing punya kunci. Kapanpun kami bisa masuk ke kamar tanpa takut pintu terkunci. Tapi, aku tak suka jika ia mengatakan telah melihat bekas-bekas kepedihanku.
“Maaf, aku tak bermaksud begitu. Kita kan sahabat. Aku merasa pantas menanyakan hal ini karena kau kuanggap saudaraku.”
“Dia datang kesini kemarin sore,” kataku memulai.
“Kesini?” tanyanya dengan senyum mencurigakan.
“Hei, jangan berpikir yang bukan-bukan!” kataku menangkap makna senyumannya.
“Hahaha. Aku mendengarkan.”
“Hidup merupakan perjalanan, Ian. Aku dalam perjalananku sekarang. Lalu aku harus berhenti menunggu seseorang yang…”
Hening.
“Seseorang yang tak melihatku. Aku sempat marah kemarin. Lihat gitar itu! Pecah kan! Aku melemparnya dan aku menyesal sekarang. Kau sudah tahu karena aku telah bercerita sebelumnya. Kira-kira sebulan kujalani dengan niat menunggu. Tanpa harapan sama sekali. Seperti menanti kapal di pantai pulau asing. Sementara dermaga ada di pulau yang satunya. Sebulan yang melelahkan.”
Aku mengingat kembali kejadian kemarin sore di kamar ini. Saat itu, perempuan yang kuanggap kekasihku itu datang setelah pesan singkatnya muncul di ponselku. Lalu kami bicara sejenak. Cuma beberapa menit lalu hening menghantarkanku ke sudut kamar lalu terbangun sekarang. Bercerita dengan sahabatku. Ian.
“Tapi, aku bisa menjadikannya pelajaran, Ian. Karena aku menanyakan satu hal!” seruku berpura-pura tegar.
“Ya?”
“Aku menanyakan hal apa dariku yang membuatnya merasa tak nyaman. Katanya, aku gampang marah dan ia hanya bisa berdiri jauh menatapku. Koreksi buat sifatku, bukan? Agar kelak aku bisa mengendalikan emosi untuk kisah yang lain.”
“Kau tak bercanda kan?”
“Maksudmu?”
“Kisah yang lain? Apa lirikmu akan berubah. Bukankah itu penyebab kalian bertengkar?” katanya memastikan ingatan.
“Kisah itu sudah lama berlalu. Lagipula, saat itu aku terpengeruh gaya pergaulanmu dan menjalin benang yang lain. Aku tak menyangka kepuasanku berbohong pada dua orang berbeda di waktu bersamaan berakibat fatal untuknya. Sedangkan kau tahu sendiri kalau Nia adalah kekasihku. Bukan yang lain. ”
“Ya. Aku tahu itu.”
“Ia bilang masih sayang padaku. Sungguh, aku tak ingin mendengar kata itu terucap dari mulutnya. Itu menjadi mimpi burukku tadi malam. Dan aku tak mau itu terus terjadi padaku.”
Aku ingat. Aku membawanya ke sini dan menawarkannya minuman dingin yang aku tak suka. Lalu kami bicara tentang keputusan yang kuambil. Aku memutuskan untuk berhenti menunggunya. Aku melihat tanda. Tanda yang meyakinkan aku bahwa ia mengulur benang layangan di hembusan angin laut.
Ian menggerak-gerakkan leher dan melirik ke arlojinya. Lalu menatapku.
“Aku harus pergi, Chris,” ucapnya.
“Iya. Terima kasih sudah mau mendengarkan ceritaku lagi. Semoga kau tak bosan, Ian.”
Ian bangkit dari duduknya dan mengenakan sweater abu-abu bertuliskan angka dua belas di bagian dadanya. Ia suka mengenakan baju itu. Sementara aku merasa gerah dengan hanya melihatnya saja.
“Aku mendengarkanmu, Chris. Ngomong-ngomong. Tadi malam aku mencium tetangga kita. Perawat itu. Di bibir. Kita berdua tahu kalau ia sangat sulit untuk didekati, bukan? Bagaimana denganmu?” tanyanya. Tapi, aku tak merasa ada ledekan di nada bicaranya.
“Hmm, aku juga mendapatkan ciuman terakhir,” kataku tak mau kalah.
“Sudah kuduga. Kau memang mirip denganku, Chris. Hahaha. Baiklah. Aku pergi sekarang. Mungkin tengah malam baru pulang. Kalau Curtis datang mencariku, suruh saja ke rumah Jon. Aku disana untuk bermain poker. Jaga dirimu, Chris.”
“Pasti, Ian,” sahutku.
Ia keluar kamar dan menutup pintu. Namun, pintu kembali terbuka. Ian menoleh ke dalam dan melihat kaleng minuman di atas meja.
“Soda tak baik buat lambungmu?” katanya.
Aku hanya tersenyum melihat ekspresinya. Seraya mengangguk kukatakan ya.
“Jangan terlalu banyak!” tutupnya.
Hening...
Ian menghilang dan kesepian kembali menemaniku di kamar sempit. Kuraih kaleng minuman yang telah kosong itu. Lalu kucium mesra. Merasakan sisa-sisa lembut jemari Nia disitu. Aku telah gila! Maafkan aku. Aku telah berusaha sekuatnya. Dan kubiarkan Tuhan yang bekerja setelahnya.
Beberapa saat kemudian, seseorang mengetuk pintu kamarku.
“Chris! Chris! Apa kau masih tidur?” itu Curtis.
“Masuk saja!” kataku tanpa beranjak dari tidurku.
“Ya, Tuhan. Kita janji main poker di rumah Jon siang ini. Apa kau lupa?” katanya melihatku teronggok di lantai.
Chris
07.210908.20.00
- (1559 words) posted by Shinichi 13 years 39 weeks ago
Tags: Cerita | Cerita Pendek | cinta | atherside | chris | membaca ulang | shinichi
Datar. Setelah baca komen2nya, baru ngerti :D Jadi inget "Seribu Kunang-kunang di Manhattan" (Umar Kayam), ceritanya tentang dua orang di apartemen ngobrol2 dan kerasa datar juga. Harus belajar menjadi pembaca yang lebih peka dan cermat nih.
saya masih nggak ngerti. ToT
.
Saya udah baca ini dua kali dan masih nggak ngerti. Hmmm. Apa maksud endingnya, Om Shin?
Chris dan Ian adalah orang yg sama :
ahak hak hak
wah hebaaatt...
shinichi kereeeen...
kok kepikiran sih???
jadi maksudnya.... tiap manusia punya dua sisi yah??
dalam kasus ini,
sepertina iya :D
ehm... percakapan dengan diri sendiri? rada ga ngerti... apa karena bacanya aja yg kurang dihayati? haha...
ulang lagi deh
:)
makasih, Om
dah berkunjung :D
Saia cuma mau memberitahukan pembaca bahwa saia ituh suka nulis yg gini
Kalo yg detektip2an ituh juga siy
Kalo konyol membanyol karena iseng ajah
Hehehe
sosok Chris... mengingatkankan ku pada Chris-ku... yang merasakan hal yang sama...
bener-bener membuatku merasuk kedalamnya...
Salut
Ni cerita bagus baget......
shinichiiiiiiiiii.... meskipun bikin bingung... saiah takjuuub dengan gaya bahasa/gaya berceritamu... sungguh...
ini salah satu bentuk tulisan yg saya suka...
Nilai diri sendiri akh
yar genap 100
ahak...hak...hak...
efektif sekali dialognya, salut!
mmm... rasanya saya mengerti...
mimpi bukan???
ah... say ikut terharu untuk christ a.k.a mas sinichi sendiri,,,:D
Hmm...
itu bukan mimpi, Mba' Arra
Saia bermaksud menghadirkan tokoh rekaan si Chris di cerita ini.
:D
bro' aq belom ngeti alur ceritanya kemana. tapi aq pingen banget belajar sama mas...buat bisa bikin cerita yang ngalir gitu. kiatnya apa bro?
Duuhh, pada ga ngerti dimana klimaksna?
Ckckckckk...
Ian itu sapa coba?
Ahak hak hak. Tabah, Shin... Tabah... Nyebut... nyebut...!
bagus, kok.
meski lebih suka baca cerita komedi karyamu, hehehe...
buru-buru dunk detektif gery nya di lanjutin, hehehe
Tenang ada saia do^^
Pak detektip lg melow.
Mas amri...
Coba bubuhi puisi do...psti lebih bgs lg
Itu dia, mba'
emang mo saia bubuhin
cuman, binun
Bagus ....
Cerita dikamar yang singkat
keren keren =D
Cerita yang terilhami dari diri sendiri ya Shin, yaitu pemimpi hahaha.
Aku rasa, cerita ini sedikit merubah "image" sebagai penulis serial Euro dan Gary itu.
ahak...hak...hak...
itu kan cuman iseng, Om Bamby
Hehehehe
iya siy
Shinichi k.com ini emang pemimpi.
kabbbuuurrr
tapi aku agak nggak ngerti..., di bagian mana ya...?..kemana ceritanya..tapi.."S E M A N G A T " dech..
duh, ga ngerti yak?
ya deh
gpp. ntar kalo baca lain kali mungkin isa ngerti
salam
Hekekekek... terlalu larut dalam kesedhan jadi lupa janjiannya ^_^ Aku suka cerita dengan kalimat2 seperti ini. Terkesan dewasa... Nice
bagus juga ceritanya!!!
Gada klimaksnya ya? Alurnya pelan tapi maju :D
Aku ska bgd cerita2 percakapan gyni.
Endingnya maksud?
Memang kenapa kalo curtis ngajak maen poker? Knapa si christ sampe kaget?
Oh, ya?
pahamin lagi deh!
coba dicermati endingna ituh.
masa ga ngerti jugah
salam