Memasuki ruangan dengan lebar sepuluh kali tujuh meter persegi ini sudah menciutkan nyaliku. Apalagi dengan seorang kakak asisten yang mulai berbicara, mengajak berdoa, lalu menyuruh kami -sayangnya termasuk aku- menuju ruangan tempat pembelajaran akan dimulai. Bau tajam formalin yang sedari tadi sudah menjamah-jamah kedua lubang hidungku, mulai lebih tajam dan kejam merajam hidung, sampai ke kedua mataku.
"Pedes, ya," bisik Areta, teman kuliah yang baru kukenal satu semester ini. Katanya dia dari Jakarta, dari SMU unggulan. Aku mengangguk sambil mengusap air mata yang otomatis keluar. Dia sendiri pun begitu.
"Nggak boleh pakai masker ya," tanyanya lagi yang lebih merupakan retorika karena di awal tadi kakak asisten sudah mengatakan bahwa haram hukumnya untuk mahasiswa semester awal memakai masker maupun sarung tangan lateks. Yang boleh pakai hanya kakak asisten.
"Aku merinding," dia berbisik lagi, kali ini dengan bahasa tubuh agak merapat padaku. Setali tiga uang dengannya sebenarnya, aku juga merasakan hal yang sama. Tapi baru aku mau menghembuskan kata-kata penguatan padanya, kakak asisten yang berbaju lab hijau telur asin, berkacamata tebal bingkai penyu, dan bersuara datar itu mengarahkan telunjuknya padaku.
"Adek yang ngobrol saja dari tadi, ayo maju duluan,"
Seketika ingin aku menghilang, menjadi asap, atau semut, atau apapun yang membuatku tidak terlihat dari kakak asisten -dan Areta biang kerok- itu. Sayangnya, dengan tinggi lebih seratus tujuh puluh, kulit putih terang, dan wajah tampan, aku nampak mencolok.
Dengan hati pasrah namun mencoba langkah tetap gagah, aku maju. Mendekati si kakak, yang berarti juga mendekati dosenku di dua jam mendatang.
"Mortui vivos docene," kakak asisten -Yuliadarwati kubaca nama yang tersemat di dada kirinya sekilas- berkata, padaku dan pada seisi ruangan.
"Orang mati menjadi dosen atau guru dari orang hidup," dia menjawab sendiri artinya. Aku mencatat dalam hati, semboyan dati praktikum anatomi ini.
"Mungkin semasa hidupnya, dosen kita ini mendapat tempat yang tidak terlalu berharga di mata masyarakat, tapi setelah dia meninggal, dia diluhurkan menjadi guru untuk kita semua," dia berkata lambat-lambat seperti merapal sebuah doa litani. Lalu dia menoleh padaku yang sedari tadi menunduk, masih takut bersitatap dengan dosenku yang terbaring tenang di atas meja stainless, dengan kulit perut yang sudah terbuka, menampakkan otot, organ dalam, dan tulang-tulangnya.
"..siapa namamu?" aku menelan ludah, sepertinya kerongkonganku adalah padang pasir. Kering dan gersang.
"Raja," jawabku dengan bass kental yang biasanya membuat wanita-wanita jatuh hati. Yulia tersenyum di sudut bibirnya, kusangka dia juga akan flirting padaku.
"Coba Raja berkenalan dengan dosen barumu, jabat tangannya, ucapkan perasaanmu," ujarnya, diiringi helaan nafas tertahan teman-teman satu kelompokku. Aku percaya, momen pertama perjumpaan dengan cadaver -sebutan untuk dosen anatomiku- bukan cuma membuatku ciut, tapi juga teman-temanku. Aku maju, merasa tak punya pilihan lain, mendekati cadaver yang terbujur kaku menanti uluran tanganku. Aku memejamkan mata sejenak, merapal doa pendek yang intinya 'save me, guide me, oh my Lord'. Lalu perlahan kusentuh tangan dingin kakunya, yang kulitnya sudah sedemikian keras, selain oleh tempaan hidup juga oleh formalin, lalu aku berusaha menjabat telapak tangannya yang bukan cuma kaku, tapi juga dingin dan kasar. Seketika perasaan haru, bangga, menyusupi rongga dadaku.
"Selamat pagi pak, saya Raja, mahasiswa semester satu Kedokteran Umum, ingin berguru pada bapak. Semoga bapak berkenan," ujarku mantap, jelas, diiringi oleh tetapan syahdu -atau takut- teman-temanku. Yulia mengangguk puas, menyuruhku mendur, lalu memulai praktikum anatomi pertama preparat basah, tentang otot dan persarafan. Aku pamit ke kamar mandi.
Tak terasa mataku basah, kali ini bukan karena formalin tapi karena haru yang menyesak. Atas perjumpaan dengan dosen anatomiku yang rela badan wadagnya dibuka, dipegang, diurai, supaya aku dan teman-temanku besok bisa menjadi dokter yang baik.
Aku menangis. Aku menangis. Untuk seorang ksatria tak bernama.
Ksatria Tak Bernama
Read previous post:
Read next post:
Be the first person to continue this post
ho..ho...
cukup berani, mencoba sesuatu yang jarang dikisahkan. pengalaman pribadi ya?
overall, bagus koq. penokohan pemeran utamanya juga langung dapet.
coba baca prologku ya, http://id.kemudian.com/node/240347
Tokohnya pede sekali ya?
Sayangnya, dengan tinggi lebih seratus tujuh puluh, kulit putih terang, dan wajah tampan, aku nampak mencolok.
Hahaha. Tapi saya suka. :)
oke. diriku suka ini :)
(ah, tapi kayaknya teknik penulisan kalimat langsungnya perlu diimprove tuhh kak...)
walau agak pusing bacanya aku terharu ini kisah nyata ya? kamu mahasiswa kedokteran?
hehe saya dosen kedokteran ;)
bener2 keren banget tema.. tinggal diperbaiki lagi EYDnya :D
baik..maturnuwun ya ^^
nice story... enak banget bacanya...
thnks sam, lam kenal ya :)
Waw.. Aq suka! Mulai dari penyusunan kata2nya, urutan penceritaannya, dan pesan yg dikandungx.. Aq suka! :)
waw! trimakasi k3nt..;)
Sbnrnya bagus. Cm eyd dan alinea, buat 2 spasi. Slm knl balik.
hehe oke makmun, nanti diperbaiki lg. thnks ya..