Pak, entah, mengapa waktu begitu cekat. Meringkas kenang dalam arak-arakan waktu yang berlari secepat rusa. Maka membicarakan kita adalah membangun kota-kota sejarah yang hamper mati karena keasingan jati diri.
Bapak, aku masih ingin belajar denganmu. Bagaimana membaca kegagalan dan kegalauan ditiap-tiap simpang dunia yang saling berebut dan mengintai ketakberdayaan.
Maka aku tak akan lagi merindukan uban-uban kehidupan dan senyum yang melekatmu, yang seringkali mendesirkan darah dalam lautan fikiran yang panjang.
Bapak, aku masih ingin berguru padamu. Menghadap bola matamu yang mirip bumi, merotasi siang dan malam apa adanya. Seperti musim-musim dalam peradaban. Sebab sering kutemui damai disana, meski kadang aku mengotorinya dengan kematian dari hutan-hutan lindungmu.
Maka aku tak akan mudah merindukan khidmatmu yang mirip sujud tangisanku dalam periode-periode tanpa episode.
Bapak, aku masih ingin berada di sisimu. Mencintaimu sesederhana Tuhan meminta keistiqomahan dan ketawakkalanku. Merindukanmu sesederhana pertemuan hening di bibir-bibir kehidupan yang tak pernah benar. Sebab terkadang aku tak sesetia langit dan tanah yang saling isi-mengisi.
:) setuju bgus..bgus..bgus,,,
Aku tak pandai berkomentar, tapi harus kuakui, betapa indah dan dalam makna puisimu. Salam....
sip sip, anak yang sholeh. amin.
hamper salah ketik atau memang begitu adanya?
selebihnya bagus..
setuju sama rain... ^^
koma di 'entah' mengganggu.
yang laen siiipp..
salam ^^
Hmm..kalo menurutku kata 'entah' itu ga perlu pake koma (,) krna kalimat brktnya ntar jadi pertanyaan..
Yg lain, muanteb deh..
Bapak yg hebat!
^^