Harusnya tak terjadi...

Aku bisa melihatmu. Hatimu yang tertekan. Tapi apa mau dikata, semua telah terjadi.

Kau menyalahkanku. Kau mengatakan sesuatu yang sebenarnya masuk akal. “Bagaimana jika kita dikeluarkan?”.
“Jangan berpikir macam-macam.” Aku membentakmu, meski terdengar seperti bisikan. Berhentilah menangis, itu membuatku semakin frustasi.
Aku menggenggam tanganmu. Kupikir sebaiknya kita keluar, sebelum ada yang melihat kita.

Kau dan aku mengendap-endap keluar dari ruangan itu. Setelah sedikit jauh, aku menoleh ke pintu bertuliskan ruang guru itu. Benar saja ada seorang guru wanita yang memasuki ruangan itu.

“Kyaaa!!!” teriak guru itu. Kau dan aku refleks melangkahkan kaki dengan cepat. Samar kudengar suara itu lagi. Kali ini lebih menggelegar. “Siapa yang mematahkan pulpen keberuntunganku?”.