“Apa kau bahagia?”, tanyamu. Aku tersenyum, mengangguk. Menatap lurus ke arah kilatan-kilatan lampu kendaraan yang hilir mudik. Mereka tak ubahnya aku, berseliweran. Entah di mana dan akan ke mana. Kau menyangga dagu dan menutup mulutmu, menatapku lekat. Aku menarik nafas, meraih segenap kekuatan untuk membalas tatapanmu. Ku sadari rasanya masih seperti dulu, meski tak semudah itu.
“Ya!”, kataku. Kita tahu hatiku berkhianat. Sama halnya dirimu. Kurasakan molekul molekul air mulai menggenangi sudut sudut mataku. Aku menengadah memandang langit, seolah tertarik dengan awan awan yang berarak. Aku mengerjap ngerjap, mencoba membendung air mata agar tidak menjatuhkanku. Lihat lah bulan di atas sana. Awan awan itu kini mengulumnya dengan kelam. Sinar pudar perlahan hilang berganti pekat. Tahu kah kau jika kehadiranmu tak lebih dari mega mendung ? Menumpahkan kembali sang hitam, ke atas hari-hari yang pernah kau bantu bersihkan dengan lengkung bianglala. Terimakasih….
Kau bangkit, melangkah ke samping tempat dudukku. Wangimu menyeruak, masih memancarkan aroma memabukkan yang dulu. Otakku memuntahkan sedetik kenangan. Aku menghirupnya dalam resah. Sejenak ia melayang , lalu berbuah formula anti gravitasi. Berjuang mematriku pada logika penghilang imaji. Kau! Kau bukan nafasku. Namun kau mampu menghentikan detak jantungku. Seberapa hirap logika pada cinta?
“Kumohon maafkan aku.” Hembusan nafasmu menghangatkan wajah. Aku membeku. Kurasakan bibirmu mendarat lembut di keningku. Aku menutup mata, menikmatinya walau sesaat. ini lah yang selalu dan akan selalu aku rindukan.
Kau mengusap lembut kepalaku, lalu pergi. Aku membuka mata, nanar menatap kertas senada pelangi . Bahkan undanganmu tertawa mengejekku yang hampir mati digerogoti sepi. Untaian abjadnya menerjang menusuk setiap inci pericardiumku. Bulir bulir air memberontak memecah ceruk mataku. Terburai membentuk sungai di pipi. Mengalir deras seiring lenyap punggungmu.
cerita yang indah... kalau saja undangannya bukan undangan nikahan, kalau saja undangannya adalah undangan sunatan... kalau saja...
Sumpah kangen banget dengan tulisan seperti ini... lanjutin donk kak... pliiss...
wew... perih, bukannya ini konflik batin si aku itu? atau saya salah menganalisa? :)
nice.
salam kenal, komen tulisan saya juga ya :) thx
bagus tapi sedikit galau wkwkwk :p
Kalau dari segi penggunaan kata sih bagus. tapi kalo tidak ada konfliknya jadi kurang seru. jadi inti dari cerita ini ngga ada.
Kata-kata nya sih puitis, tapi kelihatannya kurang dialog. Singkat juga ceritanya. kenapa gak ada konflik nya? kayaknya jadi rame tuh kalo ada konflik.
Salam :)
puitis :D
tapi sayang ada beberapa mistypes...
puitis banget,
tapi enakan kalau ada konfliknya ?
penulis lagi galau ya..
Rangkaian kata-katanya puitis ya. Sayang ceritanya terlalu singkat. Sebetulnya ceritanya bisa dirangkum seperti ini.
.
“Apa kau bahagia?”
“Ya!”
“Kumohon maafkan aku.”
.
Tapi karena rangkaian kata-katanya galau aku suka haha.
ini gak ada konfliks, gak ada klimaks. :|