Arahnya sudah bagus, menurutku. Baris-baris satu kata dipakai untuk mencerminkan sepi. Itu satu cara yang pas; bukan hanya kata-katanya, tetapi tampilan fisik puisi ini sendiri mendukung jiwa puisinya.
Di sini ungkapan-ungkapan yang memancing imaji hanya sedikit, dan itupun, ironisnya, terbatas pada baris-baris panjang (lebih dari satu kata). Bagaimanapun, ada konsistensi di situ: semuanya kalimat aktif; "tak kudengar", "aku tak melihatnya bertebaran", "aku mendesah". Selebihnya, baris-baris satu kata itu kurang kuat menurut selera saya. Kata-kata benda "waktu", "hidup", "rasa", terlalu umum. Sehingga nuansa sepi yang sudah terasa kurang mendapatkan pijakan.
Saya bisa memahami bahwa tidak selalu sederhana mengubah tulisan yang sudah jadi. Nilai rasa, yang sudah dikejar sejak sebelum huruf pertama ditulis, terancam berubah dan tidak sesuai lagi dengan konsep awal. Kalau ketiga kata abstrak itu diubah, kemungkinan harus ada penyesuaian juga di bagian lain.
Secara keseluruhan, saya suka dengan konsepnya.
Selamat berjuang di tulisan-tulisan berikutnya.
Mari terus menulis.
Hebat Juga Yaa, Semut Bisa "membaca" "Jam Manusia"
Mungkin Lebih Natural Jika Pakai "Jam Alam"
Atau "Jam Kebiasaan" kebiasaan yg biasa di lakukan manusia dlm cerita tersebut sebelum datangnnya "pukul empat"
Ini maksud kalimat yg aku komentari :
Dia tersenyum. Senyuman Ratu dari Koloni Semut Merah ini memang yang paling memesona. “Ya. Selalu begitu. Bahkan sebelum kau lahir, Fredo.” Kali ini Ratu menatapku. “Hari ini adalah jadwalnya. Tepat pukul empat.”
Pukul empat? Kurang dari setengah jam lagi? Mereka tak akan bisa mengangkut semua telur itu tepat waktu. Akan berbahaya jika mereka masih disana bersama telur-telur itu. Aku harus membantu, tekadku. Tak peduli pada larangan Ratu.
Jadi si semut yg aku baca disini, "seperti melihat & mengerti penunjuk waktu/jam yg ada di rumah manusia tersebut"
semut. oke.
:D
saia ngerasa semut yg bercerita pada cerita ini, kurang bisa memosisikan dirinya agar cerita tentang "dunianya" bisa lebih dinikmati makhluk lainnya, dalam hal ini kita manusia.
mungkin kesan petualangannya yg kurang.
kip nulis.
ahak hak hak.
Wih, galauuu~ :D hehehe xD
Eh, Yusriest O.o Gaaahh, a-apakah~?!
wah galau ya.. bisa dikoreksi lagi biar jadi lebih maknyoss kayaknya
galau itu tema yang paling enak diapa apain.
iya. makasih ilmunya. nulis, tetep dong.. semangat..
Arahnya sudah bagus, menurutku. Baris-baris satu kata dipakai untuk mencerminkan sepi. Itu satu cara yang pas; bukan hanya kata-katanya, tetapi tampilan fisik puisi ini sendiri mendukung jiwa puisinya.
Di sini ungkapan-ungkapan yang memancing imaji hanya sedikit, dan itupun, ironisnya, terbatas pada baris-baris panjang (lebih dari satu kata). Bagaimanapun, ada konsistensi di situ: semuanya kalimat aktif; "tak kudengar", "aku tak melihatnya bertebaran", "aku mendesah". Selebihnya, baris-baris satu kata itu kurang kuat menurut selera saya. Kata-kata benda "waktu", "hidup", "rasa", terlalu umum. Sehingga nuansa sepi yang sudah terasa kurang mendapatkan pijakan.
Saya bisa memahami bahwa tidak selalu sederhana mengubah tulisan yang sudah jadi. Nilai rasa, yang sudah dikejar sejak sebelum huruf pertama ditulis, terancam berubah dan tidak sesuai lagi dengan konsep awal. Kalau ketiga kata abstrak itu diubah, kemungkinan harus ada penyesuaian juga di bagian lain.
Secara keseluruhan, saya suka dengan konsepnya.
Selamat berjuang di tulisan-tulisan berikutnya.
Mari terus menulis.
Ceritany Unik...
Di Tambah Donk...
Nanggung Klo Githu...
Endingnya Kagak Jelas :P
Hebat Juga Yaa, Semut Bisa "membaca" "Jam Manusia"
Mungkin Lebih Natural Jika Pakai "Jam Alam"
Atau "Jam Kebiasaan" kebiasaan yg biasa di lakukan manusia dlm cerita tersebut sebelum datangnnya "pukul empat"
Ini maksud kalimat yg aku komentari :
Dia tersenyum. Senyuman Ratu dari Koloni Semut Merah ini memang yang paling memesona. “Ya. Selalu begitu. Bahkan sebelum kau lahir, Fredo.” Kali ini Ratu menatapku. “Hari ini adalah jadwalnya. Tepat pukul empat.”
Pukul empat? Kurang dari setengah jam lagi? Mereka tak akan bisa mengangkut semua telur itu tepat waktu. Akan berbahaya jika mereka masih disana bersama telur-telur itu. Aku harus membantu, tekadku. Tak peduli pada larangan Ratu.
Jadi si semut yg aku baca disini, "seperti melihat & mengerti penunjuk waktu/jam yg ada di rumah manusia tersebut"
meskipun sedikit, meliuk2nya ada :)
Masih ada lanjutannya kah? Penasaran niyh badai sapu itu seperti apa...
semut. oke.
:D
saia ngerasa semut yg bercerita pada cerita ini, kurang bisa memosisikan dirinya agar cerita tentang "dunianya" bisa lebih dinikmati makhluk lainnya, dalam hal ini kita manusia.
mungkin kesan petualangannya yg kurang.
kip nulis.
ahak hak hak.
huh? cuma begitu aja? atau ada sambungannya?